Cinta dipending
karya : intan rosalinda
Dibalik tirai jendela, terlihat kawanan embun berhenti sejenak
menghampiri rumput pagi. Suasana dingin menusuk sampai ke tulang-tulang.
Sorotan mentari bak lampu 5000 watt membuat cewek itu terbangun. Usianya 15 tahun, kadang sifatnya
jutek, nyebelin, penuh murka, mood-nya
nggak jelas, eeeiittss tapi hidupnya penuh dengan kekonyolan.
Ah, rasanya kekonyolan itu dipending sementara waktu.Ya! semenjak
kejadian lusa yang lalu. Tulang lututnya retak akibat olahraga Split Jump di
Sekolahnya. Jalannya pincang, menambah sifat kemanjaannya.
“Mamaah. . . handukku dimana sih?” ketus Alin sambil menyambar
tahu goreng didepannya.
“Ada di kamar Kakak kamu kayaknya. Cari sendiri aja lin, mama lagi
masak.” sahut mamanya.
Sudah setengah jam suara bawel itu lenyap. Rupa-rupanya Alin
sedang sibuk bersolek di kamarnya, menyiapkan buku-buku pelajaran dan aneka
warna perlengkapan sekolah.
“Lin. . . kamu lagi ngapain? buruan sarapan nanti telat ke
Sekolah.” mamanya berteriak agak kesal.
“Iya iya mamah, ini baru selesai pake jilbab.” bibir Alin manyun.
Kini ia sudah duduk manis di meja makan. Ditelannya sepiring nasi
goreng dengan rakus layaknya tikus. Hanya 5 menit saja, tabungan diperutnya
sudah penuh. Seteguk air putih ikut menyirami kerongkongannya yang kering.
“Alin berangkat sekolah dulu mah. Assalamu’alaikum.” sambil
mencium tangan mamanya.
“Wa’alaikumussalam, hati-hati lin.” balas mamanya.
Alin berangkat diantar Ayahnya yang menurutnya adalah Pria
tertampan bak Shaheer Seikh dan baik hati seperti malaikat. Tapi kalo udah marah,
wajahnya berubah seketika menjadi anoman.
“Uh, akhirnya sampai juga deh. Makasih yah, papah sayang udah mau
nganterin, hehe.” Alin menjabat tangan Ayahnya.
“Iya lin, yang pinter sekolahnya jangan bandel ya. Nanti pulangnya
papa yang jemput kok” tersenyum sambil mengelus kepala anaknya.
Sampai di koridor sekolah, Alin mengirim sebuah pesan teks yang
bunyinya seperti ini “cus, jemput
bidadari cepetan hahaha.”
Nggak lama kemudian si Puti yang punya nama gaul “ncus” udah
nongol di depan mata.
“Ya ampun lin, lubang idung lo keliatan juga nih, udah sembuh
kakinya? Lututnya copot terus dilem atau jangan-jangan lo pake kaki palsu? Oh
my God gue nggak bisa bayangin deh!” puti nyerocos dengan muka anehnya.
“Ah elu mah bisa aja, gue nggak pake kaki palsu kok tapi pinjem
kaki sapi betina di samping rumah gue.” Alin nyeplos seenaknya.
“Hahahaha. . . ” kedua cewek tersebut tertawa geli. Untung saja
lorong-lorong dalam keadaan sepi, jadi cuma bangsa semut yang mendengar suara
jelek mereka.
Sampai di kelas, Alin disapa oleh sesosok cowok yang dibilang
lumayan manis dan keren. Payahnya dia itu suka ngeledek mentah-mentah,
nyebelin, sengak, sampai-sampai tanduk banteng kerap kali menancap dikepala
Alin.
“Selamat pagi Tandenada Alinka. . . ” ucap cowok yang bernama Boy
itu.
Alin hanya menjawab sapaan itu sesingkat dan secuek mungkin,
karena perasaan kesal masih berselimut hangat di dalam dirinya. Wajah dan
mulutnya memang bisa berbohong, namun tak dapat dipungkiri bahwa jauh didalam
hatinya ia sedang berbunga-bunga.
“Ciee asik nih pagi-pagi udah disapa sama cowok kece, ntar malem
nggak bisa tidur kayaknya. . . wah wah si Boy ngasih lampu hijau tuh.”
ledek Puti kepada Alin.
“Eh nenek lampir jangan ngawur deh, amit-amit. Mimpi apa gue
semalem.” lagi-lagi Alin berakting.
***
Jam pelajaran terakhir baru saja dimulai. Setan ngantuk, setan
laper dan berbagai jenis setan mulai bangkit kembali di waktu seperti ini. Pak
Iwan mulai menjelaskan materi Trigonometri yang katanya si lumayan sulit. Alin
dengan asiknya bermain kuku dan tidak memperhatikan.
“Ekhem, coba kamu kerjakan soal di papan tulis itu!” Pak Iwan
membuat Alin terkaget.
“Hah, saya pak?” mulut Alin melongo.
“Iya kamu Alinka.” Pak Iwan mengarahkan jari telunjuknya ke tempat
duduk Alin.
“Ta ta tapi Pak.” Alin cemberut dan akhirnya berjalan ke depan
selambat siput yang hampir keriput.
Teeettooott. . . sudah 15
menit Alin berdiri dan belum bisa memecahkan soal tersebut.
Pak Iwan secara tiba-tiba menasehati bak Mario Teguh.
“Kalo lagi diajar diperhatikan, satu ilmu itu lebih berharga
daripada sekantong berlian. Lain kali jangan diulangi lagi lin.”
Alin tidak menjawab sepatah kata pun. Ia cuma diam menahan rasa
malunya.
“Oke baiklah, apa ada yang mau membantu Alin mengerjakan soal
didepan?” Pak Iwan menawarkan kepada semua siswa.
Tiba–tiba saja sesosok manusia mentimun muncul ditengah-tengah
mereka. Alin agak ilfeel sebenarnya,
tapi lutut yang memaksa untuk bersabar.
“Silahkan Boy. Bantu dia!” Pak Iwan memberikan sebuah spidol
kepada Boy.
“Huufftthh. . . ” Alin tergopoh-gopoh dan bergeser menjauhi Boy.
Boy melirik tajam kepada Alin. Ibarat bus efisiensi, dengan
patasnya dia merangkai angka-angka jahanam itu menjadi sebuah jawaban yang
sangat sempurna.
“Dug. . .! ” hentakan terakhir spidol Boy itu berbunyi dan membuat
Alin melongo.
“Hah!! secepat itu!!” gumam Alin dalam hati. Sebenarnya dia sangat
kagum dengan apa yang dilakukan oleh Boy.
Boy memang jagonya matematika. Nggak tau kenapa dia bisa sejenius
itu, entah dirasuki setan, makan kalkulator atau menumbuk rumus menjadi es kopi
panas. Intinya sejak dalam kandungan, dia selalu mendapat nilai matematika
semudah membalikkan telapak tangan.
“Makasih Boy!!” ucap Pak Iwan pada Boy.
Boy pun berjalan kembali ke tempat duduknya. Mata Boy belum goyah
dari sosok Alin.
“Alin, sekarang kamu boleh duduk.” Pak Iwan menyuruh Alin kembali
ke tempat duduknya.
“Iya makasih pak.” Alin berjalan ke tempat duduknya memakan waktu
5 menit.
“Ciee. . . Boy si penyelamat. . . ekhem ekhem.” Puti ngomong
sekenanya.
“Apaan sih!” Alin meninju lengan Puti sampai meringis kesakitan.
Bel pulang sekolah berbunyi. Sautan dari kelas satu ke kelas lain
saling sambung –menyambung menjadi satu itulah Indonesia. Alin mulai lapar,
perutnya minta diajak goyang dumang biar hati senang. Tapi kakinya nggak bisa
diajak buat kompromi. Hanya dua sahabatnya yang manis nan centil itu yang
merangkul kedua pundaknya.
“Makasih ya cus, makasih juga dini. Kalian emang baik banget deh,
hahaha. . . ” Alin tertawa
Akhirnya mereka bertiga sampai di kantin yang agak sepi, karena
para penghuni sekolah sudah pulang ke istana masing-masing. Alin, Puti dan Dini
melahap makanan sepuasnya tanpa ada rasa malu.
***
Malam yang sangat hangat. Alin duduk diteras ditemani
bintang-bintang mungil yang manis. Semanis senyuman dia yang jauh disana. Sebenarnya
ia ingin belajar, namun pikirannya melayang-layang mencari seseorang yang
membuatnya gelisah. Tiba-tiba handphone Alin berdering datanglah sebuah pesan
manis. Dari Boy rupanya. Alin pun membalas pesan tersebut dan hampir satu jam smsan.
“Lin, kamu lagi ngapain disitu?” Papanya tiba-tiba menghampiri
Alin.
“Mmmm nggak lagi apa pah, Alin lagi duduk-duduk aja. Soalnya di
dalam panas banget sih.”
“Ah masa sih? Kok tadi papa liat kamu senyum-senyum sendiri, ayo
masuk! Nggak baik di luar sendirian.” Papanya sedikit mengerti apa yang
sebenarnya terjadi.
Alin membuka pintu kamarnya. Ia masih memikirkan sosok yang sama. Dug!
Seketika Alin ingat pesan Mama dan Papanya. Ia harus rajin belajar dan
membanggakan kedua orang tuanya. Mimpi dan cita-citanya harus diperjuangkan.
“Ah! Gue lagi kerasukan setan apa sih. . . masa gue jatuh cinta
sama Boy?” gumam Alin dalam hati.
“Duh Alin. . . Alin. . . lo itu harus sukses dulu baru boleh
cinta-cintaan. Pokoknya gue harus hapus rasa ini. Kagum sama Boy boleh, tapi
kalo cinta? Buat nantian aja deh, sekarang mah dipending dulu aja. Suatu saat nanti cinta ini akan tumbuh disaat
yang tepat dan waktu yang tepat juga. Gue nggak akan lupain senyuman manis itu
Boy, gue slalu nungguin senyuman manis lo.”
Suara jangkrik di luar hampir mirip seperti konser paduan suara
berjudul nina bobo. Hari sudah malam, mata Alin tinggal 3 watt. Ia beranjak ke
pulau kapuk dan mulutnya berkomat-kamit melantunkan sebuah do’a. Berharap esok
pagi akan menjadi hari yang indah dan menyenangkan.
No comments:
Post a Comment